Ingkar Janji, Satu Kampung di Bone Dikutuk jadi Batu

Konon pada awal peradaban manusia di Sulawesi Selatan, khususnya di kawasan Kabupaten Bone ; yang dimulai dengan munculnya Tomanurung, kemudian berdiri sebuah kerajaan yang sangat kaya, dan rakyatnya hidup serba berkecukupan. Kerajaaan itu bernama Mampu.
Negeri Mampu ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Oddang Patara, didampingi permaisuri bernama I La Wallellu, yang bergelar Puang Mallosu-losuE Ri Mampu (Ratu yang telanjang dari Mampu).
Kerajaan Mampu merupakan negara agraris dan maritim yang terdiri dari tujuh distrik, yang masing-masing distrik dikepalai oleh seorang kepala distrik atau dusun. La Oddang Patara, merupakan generasi kedua dari Tomanurungnge ri Matajang. Dia dibantu oleh seorang penasehat kerajaan bernama La Cagala, yang sangat pandai dalam hal mengatur pemerintahan, dan merupakan pemimpin keagamaan di Mampu.
Kehidupan masyarakat Mampu yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan, serta sebagian lagi berprofesi sebagai pengrajin, membuat kerajaan di masa lalu itu menjadi kerajaan yang sangat kaya. Apa saja yang mereka tanam pasti tumbuh dan menghasilkan panen yang melimpah. Sedangkan dari hasil laut berupa ikan dan garam seakan-akan datang menghampiri mereka tanpa perlu susah payah mencarinya. Hasil sandang berupa kain tenun mereka dapat membuat sendiri tanpa tergantung kepada negeri lain. Ternyata karunia yang diberikan oleh Tuhan yang tanpa henti, membuat mereka menjadi lupa diri. Mereka menjadi sombong dan takabur. Harta yang melimpah membuat mereka menjadi mabuk akan kesenangan, sehingga merajalela di seluruh penjuru negeri berbagai bentuk kesenangan yang akhirnya menjadi kemaksiatan.
Karena makmurnya kerajaan itu, sehingga tak ada lagi batasan di antara raja dan rakyatnya. Sudah tak jelas lagi siapa yang melayani dan siapa yang dilayani. Hidup mereka seperti di surga, karena semua yang mereka butuhkan ada di sekitar mereka tanpa perlu susah payah mencarinya. Tak jauh beda dengan rakyatnya, Raja dan Ratu Mampu demikian pula halnya, bahkan Ratu Mampu sepanjang hidupnya tak pernah lagi menggunakan pakaian. Tubuhnya dibiarkan bertelanjang sembari berbaring di peraduannya menikmati kesenangan.
Tak ada lagi ritual penyembahan kepada Tuhan yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Mereka berpendapat, bahwa tak ada campur tangan Tuhan dalam keberhasilan mereka selama ini. Hasil yang mereka dapatkan semata karena buah kerja keras mereka sendiri. Karena itulah Tuhan memberikan mereka ujian berupa seekor Anjing yang bisa bercakap-cakap seperti manusia kepada kerajaan Mampu.

Kutukan.                                      
Raja La Oddang Patara memiliki seorang putri yang sangat gemar menenun kain sutera untuk dipakai sendiri. Karena kegemarannya itu, dia biasa menghabiskan waktunya hingga berbulan-bulan menenun kain di atas rumah. Hingga pada suatu waktu, alat tenun sang putri berupa teropong, terjatuh ke tanah, tapi dia begitu malas untuk turun mengambilnya. Sang putri meminta bantuan sambil berteriak meminta tolong, tapi tak ada yang memperdulikan teriakannya. “Tolong !, Siapa yang ingin mengambilkan teropongku (alat tenun yang terbuat dari bambu aur untuk memasukkan benang)” teriak sang putri. Tapi tak seorangpun yang mendengarkan teriakannya, sehingga dia menjadi bosan dan mulai berjanji dalam hati.
“Barang siapa yang menolongku mengambilkan alat teropongku di kolong rumah, maka apabila lelaki akan kujadikan dia sebagai suamiku. Dan apabila dia perempuan akan kujadikan saudaraku” janji sang putri. Ternyata janji sang Putri didengar oleh seekor anjing jantan yang kemudian pergi mengambil alat tenun tadi.
Betapa terkejutnya sang putri ketika melihat seekor anjing jantan telah berdiri di hadapannya sambil menggigit alat tenun tadi. “Bagaimana mesti aku memenuhi janjiku, sementara engkau hanya seekor anjing” ujar sang putri. Tiba-tiba anjing itu dapat berbicara seperti manusia dan segera menagih janji sang putri. “Walaupun aku hanya seekor anjing, tapi janjimu tadi berlaku untuk semua mahluk yang berkelamin laki-laki” tagih anjing itu.
Terkesiap sang putri mendengarnya, dia tak menyangka bahwa anjing itu bisa berbicara sepertu manusia. “Tapi kamu hanya seekor anjing, tak sudi aku menikah dengan seekor anjing seperti kamu !” bentak sang putri, marah. Karena sang putri berkeras untuk tidak memenuhi janjinya, maka keluarlah sumpah dari mulut sang anjing. “Wahai sang putri ! Karena kamu telah ingkar janji dan semua orang di negerimu sering mengabaikan janji serta sering menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain, maka melalui telunjuk kalian, aku kutuk kamu semua menjadi batu !” Sumpah sang anjing yang disambut dengan suara gemuruh di atas langit, yang seakan-akan mengabulkan kutukan itu. Seketika itu pula sang anjing lenyap dari pandangan sang putri raja. Awalnya, memang tak ada keanehan yang terjadi pada diri sang putri, seakan-akan kutukan tadi tidak berarti apa-apa baginya.
Namun tak lama berselang, iringan pengantin lewat di hadapan sang putri, dan diapun segera menoleh memperhatikan iringan pengantin tadi. Betapa terkejutnya sang putri, karena pada iringan-iringan tersebut, yang dilihatnya pada semua orang yang ikut rombongan, menempel pada dahinya sebongkah batu hitam. Beberapa kali dia mengusap kedua bola matanya, seakan tak percaya, tetapi batu yang menempel pada dahi orang-orang tersebut tetap ada. Karena tak sabar, sang putripun segera menegur mereka. “Hey…orang-orang, kenapa ada batu yang menempel pada dahi kalian” tegur sang putri seraya menunjuk-nunjuk ke arah dahi salah seorang anggota rombongan.
Terkejutlah sang putri melihat kejadian sesaat setelah dia menunjuk kepada orang itu, karena tiba-tiba sekujur tubuh orang itu menjadi batu. Tersadarlah dia bahwa kutukan sang anjing telah berlaku. Gegerlah iringan pengantin tersebut, merekapun saling tunjuk dan tak terkecuali bagi sang putri. “Tuan putri, di dahi andapun ada batu” tunjuk salah seorang di antara mereka. Akhirnya sang putripun menjadi batu.
Gemparlah keadaan di negeri Mampu. Seluruh penduduk saling tunjuk karena melihat batu di dahi orang lain. Semua yang kena tunjuk akhirnya menjadi batu, sehingga seluruh negeri menjadi batu.
Peristiwa tunjuk-menunjuk di negeri mampu sampai sekarang masih dikenal dengan istilah Jello-jello to Mampu (tunjuk-menunjuk ala orang Mampu) apabila ada dua orang yang berselisih dan saling menunjuk kesalahan masing-masing.

Terbesar Kedua di Dunia
Setelah seluruh negeri menjadi batu, terjadi lagi peristiwa berupa bencana alam selama tujuh hari berturut-turut, yang menenggelamkan negeri mereka ke dalam perut bumi, sehingga terkenal pula istilah Lebbore’ngnge ri Mampu (Yang terkutuk di Mampu). Tapi Tuhan kiranya ingin memberikan pelajaran kepada manusia dengan ditemukannya negeri itu dalam bentuk gua, yang mulut guanya menurut warga sekitar merupakan pintu gerbang negeri Mampu. Gua itu terkenal dengan nama Gua Mampu, yang letaknya di desa Cabbengnge Kecamatan Dua Boccoe, kira-kira 30 km dari kota Watampone.
Menurut pengelola gua Mampu, M.Rijal (34), ketika ditemui tim MITOS belum lama ini, gua Mampu ini termasuk gua yang terbesar kedua setelah gua yang ada di Swis. Karena terdiri dari tujuh dusun yang menjadi batu dan baru sekitar tiga dusun yang dapat ditemukan di dalam gua. Sisanya belum dapat ditemukan.
“Ada bukti yang menguatkan pak, bahwa di sini pernah ada kampung, karena tahun 2004, mahasiswa UGM Jogyakarta, pernah melakukan penelitian dan ditemukan piring serta mangkuk yang terbuat dari tanah liat” jelas Rijal seraya menunjukkan bekas galian kepada wartawan MITOS.
“Kerajaan Mampu merupakan negeri yang kaya dengan adanya kapal laut yang jadi batu, serta hamparan sawah yang telah menjadi batu pula” kata Rijal sambil mengantar awak MITOS keliling gua. Apabila keempat dusun yang masih tersembunyi akhirnya nanti ditemukan, kemungkinan gua Mampu menjadi gua yang terbesar di dunia, kata Rijal.

Aneh dan Menggelikan
Ada yang aneh dan cukup menggelikan yang terjadi di gua Mampu, seperti yang dialami oleh Andi Adi (24) juru parkir gua Mampu :
“Ada yang pernah datang uka-uka disini pak, tepatnya di tempat sang putri menenun. Mereka mengaku dari salah satu perguruan tenaga dalam. Ketika mereka melakukan ritual pemanggilan penghuni gua, saya larang ki, pak ! Karena disini penghuninya berbahaya. Tapi dia tetap berkeras, maka saya sebagai putra asli disini disuruh menjadi media pemanggilan ruh. Setelah konsentrasi, mereka akhirnya berhasil melakukan ritual tersebut. Tapi setelah saya mulai masuk ke dalam dimensi alam gaib, yang nampak di depanku dua orang tua. Yang satunya berbaju putih dan yang satunya lagi tubuhnya berselimut api yang membara. Mereka nampak marah kepada orang yang melakukan ritual tersebut. Setelah itu saya tak tahu lagi, karena setelah saya tersadar yang kulihat pemimpin perguruan itu telah pingsan dengan tubuh yang menghitam. Menurut salah satu anggotanya, setelah saya kesurupan, saya menampar wajah orang itu dengan berkata : “Jangan kurang ajar kamu disini, Saya tidak suka dipanggil seperti itu”. ujar Adi sembari bergidik bulu kuduknya mengingat peristiwa itu. Akhirnya orang itu dapat diselamatkan dan dibawa keluar gua dengan bantuan warga setempat, serta para tetua kampung.
Selain peristiwa di atas ada juga peristiwa yang menggelikan yang diceritakan Rijal : “Di salah satu tempat di dalam gua, ada batu yang diberi nama batu pedoman yang artinya, apabila kedua batu itu bertemu, masyarakat di sekitar sini percaya akan terjadi bencana alam. Maka apabila batu itu sudah mau bertemu, masyarakat disini akan datang memecahkan batu itu, katanya, supaya tidak terjadi bencana. Padahal tadinya batu ini sudah tidak muat uang koin apabila dimasukkan dan sekarang, kita lihatmi sendiri sudah sebesar tangan jaraknya” kisah Rijal dengan mencontohkan tangannya dirapatkan ke batu tersebut.
Masyarakat di kabupaten Bone meyakini, bahwa apabila mengunjungi gua Mampu dan kemudian terpeleset dan jatuh di dalam gua itu, maka jodoh akan cepat datang. Apalagi bila membawa pasangan dan berniat di depan batu pengantin, maka hajatnya biasanya terkabul.
Adapun pengalaman tim Wartawan MITOS didapatkan ketika menziarahi di puncak gunung Mampu yang di atasnya bersemayam makam Puange Tanre Wara. Sewaktu tim MITOS mulai mendaki, di kaki bukit tercium bau yang sangat wangi, yang menurut keterangan warga, sebagai tanda datangnya Puangnge Tanre Wara. Bau wangi itu terus tercium hingga ke punggung bukit dan nanti hilang ketika tiba di puncak bukit. Seluruh awak MITOS yang mendaki dalam keadaan yang sangat payah ketika tiba di puncak, maklum saja masih kecapaian setelah menempuh perjalanan dari Makassar dengan menggunakan sepeda motor.
Setelah berdoa di depan makam, Tim MITOS akhirnya beranjak untuk turun bukit. Ajaibnya selama perjalanan turun, tubuh mereka terasa segar seperti sudah meneguk air suplemen. “Heran saya, padahal kalau dalam keadaan biasa terkapar ma ini” ujar Ali, salah seorang wartawan MITOS. “Kalo begini biar seribu gunung bisa ji didaki” timpalnya lagi.
Belum habis rasa takjub, terjadi lagi keanehan di sekitar gua. Tiba-tiba terjadi hujan yang hanya turun mengelilingi sekitar gua, padahal di luar kompleks gua terang benderang. Pujian kepada Tuhan semua keluar dari mulut para awak MITOS melihat kejadian ini dan setelah itu muncul fenomena di langit, yaitu muncul awan putih yang menbentuk tulisan Allah yang pancaran sinarnya dari atas bukit Mampu.
Tim MITOS yang menyaksikan itu, hanya saling berpandangan takjub. Apakah gambaran di dalam gua itu memang terjadi di masa lampau, ataukah itu hanya terjadi karena peristiwa geologi semata ? Hanya Tuhan yang maha tahu. (MITOS/ali/awing)

Berita Terkait:

Mitos Utama
Fenomena
Liputan
DAFTAR ALAMAT
Pengobatan Alternatif
Konsultasi Gaib
Orang Pintar
Rumah Sakit
Telpon Penting
 
Copyright 2010 Majalah MITOS Makassar. All rights reserved.
Themes by MITOS | Redesign by crew Mitos